Rabu, 18 Agustus 2010

peran perempuan

Realitas sosial menunjukkan perempuan berkiprah di area publik bukan sesuatu yang aneh. Hal ini teutama dipicu oleh faktor kebutuhan secara ekonomi. Meski faktanya demikian, namun realitas perempuan sebagai pemimpin masih menjadi perdebatan tak kunjung usai. Perdebatan ini kentara sekali di ranah teologi. Agama, dalam hal ini Islam, terlihat gamang dalam menyikapi fenomena ini. Islam seolah terbelah dikotomis antara pro ataukah inti perubahan; mengamini perempuan pemimpin ataukah tetap memegang teguh laki-laki sebagai pemimpin perempuan.

Perempuan dalam politik seringkali dipersoalkan oleh sabagian orang di Indonesia. Sebagian kaum Muslim mempersoalkan perempuan dalam poltik dengan alasan takdir perempuan bukanlah dalam politik, tetapi di level domestik (rumah tangga), sementara level publik (politik) merupakan dunia laki-laki. Namun, paham ini mendapat kritik yang cukup keras dari kelompok yang menyatakan bahwa level publik maupun domestik bukanlah “takdir”. Keduanya dapat dinegoisasikan, serta didialogkan karena tidak ada satu pun doktrin yang menunjukkan bila “laki-lski” takdirnya adalah di wilayah politik, sementara perempuan dalam domestik.

Perdebatan dua kelompok diatas ternyata terus berlangsung hingga sekarang. Bahkan, yang paling nyata adalah perdebatan tersebut membawa dampak yang kadang kurang produktif di masyarakat. Ada kalanya terjadi klaim dan saling menghakimi bahwa yang paling benar adalah kelompok A, sedangkan lainnya salah. Demikian seterusnya. Tentu hal ini tidak membuat persoalan perempuan dalam politik atau laki-laki dalam politik selesai dibahas karena rebut mengurus klaim atas pemahaman yang dikembangkan.

Oleh sebab itu, sudah seharusnya perempuan dilihat sebagai pendorong kemajuan bangsa atau kemajuan bangsa. Hal ini didasarkan pada sebuah pemahaman bahwa jika perempuan-perempuan yang selama ini ditempatkan “secara agak paksa” hanya sebagai pengurus anak, pengatur keuangan keluarga, pengatur jadwal suami dan pemberi semangat anak-anak dan suami tidak bekerja maksimal, maka bangsa ini tidak akan maju.

Memperhatikan pelbagai kasus atau peristiwa yang terjadi di tanah air, maka tidak benar bila kita hendak memposisikan perempuan sebagai manusia kelas dua. Hal yang harus dikerjakan adalah bagaimana memposisikan perempuan secara adil dan setara dalam politik (publik) karena dalam kenyataan banyak laki-laki tidak lebih baik dari perempuan, tetapi perempuan sebagian besar dipandang sebagai pihak yang tidak pada “takdirnya” ketika masuk dalam ranah publik-politik. Tentu pandangan ini tidak adil pada perempuan, karenanya harus disingkirkan.

Gerakan perempuan perlu mempertahankan keterbukaan pikiran, siap mendengarkan, berdialog serta bernegoisasi dengan pelbagai kelompok yang ada di masyarakat. Dengan begitu maka akan tercipta ruang keadilan. Keadilan adalah kata kunci perjuangan perempuan untuk berkata no discrimination. Islam sendiri sebetulnya tidak cukup dijadikan alasan untuk mendiskreditkan perempuan dalam berbagai peran sosial atas dasar agama. Yang ada dalam ajaran Islam adalah distinction (perbedaan) bukan discrimination (pembedaan) antara laki-laki dan perempuan. Oleh karenanya, tidak ada keraguan untuk membawa isu kesetaraan mengemuka di muka public. Ke depan diharapkan seluruh elemen bangsa makin banyak yang bergerak menyuarakan aspirasi perempuan secara bersama-sama. Sehingga upaya mewujudkan emansipasi perempuan agar terbebas dari diskriminasi makin terbuka lebar.

Gerakan bersama ini sudah menjadi keniscayaan untuk kemerdekaan perempuan dari segala bentuk penindasan demi perbaikan bangsa di masa mendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar