Sabtu, 28 Agustus 2010

Peran Perempuan Dalam Masyarakat

Peran perempuan kerap menjadi sebuah perdebatan. Banyak kalangan menilai perempuan mesti mendapatkan peran lebih besar dalam kehidupan masyarakat. Di sisi lain, ada kalangan yang memandang perempuan mestinya hanya berperan dalam ranah domestik atau kehidupan rumah tangga saja.

Lalu bagaimana sebenarnya Islam memandang peran perempuan tersebut dan bagaimana kenyataan peran perempuan dalam berbagai bidang di negara-negara Islam? Menurut cendekiwan Muslim asal Arab Saudi, Elly Maliki, perempuan mestinya memiliki peran yang lebih besar dalam kehidupan masyarakat.

Maliki yakin perempuan juga memiliki potensi yang akan berguna pembangunan masyarakatnya. ‘’Mestinya tak ada diskriminasi terhadap perempuan. Bahkan di dalam Alquran juga dinyatakan bahwa tak ada pembedaan antara perempuan dan laki-laki. Penilaian yang berbeda didasarkan pada tingkat keimanannya,’’ tegasnya di sela-sela acara Seminar Internasional Cendekiawan Muslim ke-2 di Jakarta, belum lama ini.

Dengan demikian, jelas Maliki, perempuan akan mampu berkiprah dalam masyarakat di berbagai bidang baik ekonomi, pendidikan, teknologi, bahkan politik. Meski ia pun menyatakan bahwa perempuan juga memiliki kewajiban menyeimbangkan antara kegiatannya di luar dengan kewajiban bagi keluarganya.

Maliki menambahkan, diakuinya dan perlunya peran perempuan dalam skala yang lebih besar membuatnya bebas tanpa batas aturan. Perempuan harus tetap menjalankan perannya di masyarakat sesuai dengan aturan agama sebagai pengawalnya. Jadi apa yang
dilakukan mereka tetap dalam koridor yang sesuai dengan ajaran agama.

Dalam kesempatan sama, dekan Islamic Studies, University of Philippines, Dr Carmen A Abubakar, menguraikan bagaimana perempuan di kalangan umat Islam Moro di Mindanao, Filipina. Kondisi ekonomi yang sulit akibat konflik yang terjadi di sana, mendorong perempuan Moro untuk memainkan peran penting.

Carmen mengatakan, konflik telah membuka pemikiran mereka untuk mampu menghidupi dirinya sendiri dan keluarganya. Selama ini mereka memang bergantung pada kepala keluarga. Namun konflik telah membalikkan keadaan tersebut, mereka kemudian aktif di pasar untuk menggerakkan roda perekonomian; membekali dirinya dengan ketrampilan, di antaranya keperawatan dan medis.

Meski demikian, dalam kondisi yang serba sulit itu tak semua perempuan Moro, kata Carmen, mampu mencapai pendidikan ketrampilan tersebut karena biayanya yang sangat mahal. Namun mereka tak berpangku tangan. Efek konflik yang mempersempit lapangan pekerjaan di daerah kelahiran mereka, membuatnya rela pergi ke luar negeri, terutama ke Timur Tengah untuk mendapatkan pekerjaan. Tak ayal bila akhirnya lebih banyak perempuan Moro yang bekerja di luar negeri dibandingkan laki-lakinya.

Carmen menjelaskan, fenomena ini menunjukkan bahwa kemampuan perempuan-perempuan Moro untuk menabung membuat mereka memiliki akses ekonomi dan memainkan peran baru pula dalam keluarganya.

Kesuksesan tersebut, jelas Carmen, membuat mereka kemudian mampu mengembangkan usaha meski dalam skala yang masih relatif kecil. Mereka juga mampu membantu suaminya untuk menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang lebih tinggi. Pun akhirnya mampu menciptakan sebuah modal bagi kemajuan ekonomi keluarga.

Selain itu, lanjut Carmen, peremuan Moro juga memainkan peran yang besar dalam masa konflik yang terjadi di Mindanao. Mereka tak digerakkan untuk terlibat dalam perang tapi ada upaya nyata lainnya yaitu upaya mereka dalam mengurangi tingkat buta huruf yang ada di masyarakat di mana mereka tinggal.

Menurut Carmen, langkah ini ditempuh untuk menepis dampak negatif dari tingkat melek huruf yang rendah itu. Pasalnya, rendahnya tingkat melek huruf berpengaruh besar bagi perempuan Moro untuk mendapatkan kesempatan kerja. “Jadi menghambat mereka untuk berperan dalam sektor ekonomi”.

Carmen menuturkan, perempuan juga memainkan peran dalam sejumlah lembaga swadaya masyarakat. Ia mencontohkan sebuah LSM bernama Al-Mujadilah Development Foundation yang dipimpin oleh Yasmin Busran-Lao. Selama ini LSM ini terus bergerak untuk mewujudkan perdamaian di masyarakat.

Melalui Al-Mujadilah, jelas Carmen, Yasmin telah menggalang dialog antara komunitas Muslim dan Kristen. Ini bertujuan agar kedua belah pihak saling memahami dan terhindar dari konflik. Yasmin juga mendorong peran perempuan dalam upaya menciptakan perdamaian.

Musdah Mulia, cendekiawan Muslim, dalam bukunya bertajuk “Perempuan Reformis”, mengatakan bahwa tauhid tak memberikan luang untuk membedakan antara laki-laki dan
perempuan. Di hadapan Allah baik laki-laki maupun perempuan memiliki potensi untuk menjadi hamba yang ideal.

Menurut Musdah, dalam praktiknya, perempuan memiliki peranan penting dalam kehidupan bermasyarakat. Ini juga terjadi ketika perempuan memerankan dirinya dalam
upaya rekonsiliasi. Ia mencontohkan bagaimana perempuan pemuka agama di Ambon memainkan peran penting ini.

Mereka, jelas Musdah, hanya melakukan pekerjaan sederhana yaitu agar tidak muncul konflik baru. Mereka tak berbicara tentang rekonsiliasi, tetapi membuat langkah pencegahan. ‘’Meski yang mereka lakukan amat sederhana justru langkah mereka merupakan bentuk nyata rekonsiliasi dan perdamaian,’’ katanya.

Mereka melakukan kegiatan silaturahim setelah terjadinya konflik bernuansa agama. Ini dilakukan dengan acara pengajian maupun kebaktian di wilayah masing-masing, yaitu komunitas Islam dan Kristen. Kegiatan ini merupakan rehabilitasi mental dan psikoterapi terhadap kelompok ibu-ibu. (cmm)

Peran Perempuan Dalam Politik Menurut Islam

Dalam islam pada dasarnya semua manusia derajatnya sama baik laki-laki maupun perempuan. Yang membedakan adalah ketakwaan mereka. Hal ini sebagaimana yang difirmankan Allah swt dalam al-quran

Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (Al-Hujurat : 13)

Dr. Ahmad Syalabi mengumpulkan beberapa ayat untuk menegaskan bahwa islam telah menghapus diskriminasi antara laki-laki dan perempuan diantaranya[1] :

“Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan.” (Al-Isra : 70)

“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu” (An-Nisa :32)

“...para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf”. (al-Baqarah : 228)

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”(At-Taubah : 71)

Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (Ali-Imran : 195)

Namun demikian Allah swt telah melebihkan sebagian antara laki-lai dan perempuan dalam masing-masing hal yang berbeda sesuai dengan fithrahnya. Di antaranya adalah struktur fisik masing-masing, dan hal ini juga tidak terlepas dari peranan dan tanggung jawab yang diberikan oleh sang Khaliq kepada masing-masing gender, kemudian dari peranan dan tanggung jawab tersebutlah maka terjadi perbedaan sebagian hak dan kewajiban yang diberikan oleh syariat islam. Namun hal tersebut tidaklah mengurangi kedudukan mereka di hadapan Allah swt. Bahkan bila masing-masing berjalan sesuai dengan perannya maka ganjarannya adalah setimpal. Demikian yang dikatakan oleh al-Hadits :

“Sesungguhnya Asma binti Yazid As-Sakar ra datang menemui Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata “Sesungguhnya saya utusan dari sekelompok wanita muslimah di belakangku, mereka semuanya berkata dan sependapat degan perkataan dan pendapatku. Sesungguhnya Allah mengutusmu kepada kaum pria dan wanita, maka kami beriman dan mengikutimu. Dan kami kaum wanita terbatas, banyak halangan dan penjaga rumah. Sementara kaum pria diutamakan dengan shalat jamaah, mengantar jenazah, dan jihad. Ketika mereka berjihad kami menjaga harta mereka dan mendidik anak mereka. Apakah kami bersserikat dengan mereka dalam mendapatkan pahala wahai Rasulullah?” Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berpaling ke arah sahabat dan bersabda, “tidakkah kalian mendengar ungkapan seorang wanita yang lebih baik pertanyaannya tentang agama daripada wanita ini ?” Sahabat menjawab “Benar wahai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam” Rasul shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda “pergilah wahai Asma, dan beritahukan kepada para wanita di belakang kalian bahwa kebaikan (ketaatan) salah seorang kalian kepada suaminya, mencari keridhaannya dan mengikuti apa yang dia sukai, menyamai (pahalanya) dengan semua orang yang engkau sebutkan.” ( HR Bukhari dan Muslim)[2]

Dengan ketentuan ini sesungguhnya islam telah memuliakan wanita, belum lagi peranan mereka sebagai ibu yang sangat penting dan mulia dalam islam.

Namun demikian Dr.Yusuf Qaradhawi menemukan dalam beberapa fakta pada masa Rasulullah dan para sahabat, bahwasannya kaum wanita dapat berjuang sejajar dengan kaum pria, dari fakta ini nanti akan kita bahas bagaimana keterlibatan wanita dalam bidang politik. Beberapa fakta tersebut antara lain [3] :

  • Perempuan pada zaman dahulu ikut datang berjamaah dan shalat jumat di mesjid Rasuullah Saw. Nabi Saw memerintahkan mereka agar mengambil shaf-shaf yang terakhir, yaitu di belakang shaf laki-laki. Semakin shaff itu lebih dekat ke bagian belakang maka semain mulia karena takut kalau aurat perempuan tampak di hadapan kaum laki-laki, di saat mayoritas dahulu tidak mengenal celana dan tidak pula ada dinding atau kayu yang membatasi kaum perempuan dengan laku-laki[4].
  • Pada awalnya laki-laki dan perempuan masuk pintu mana saja yang mereka sepakati, sehingga terkadang terjadi persimpangan antara yang masuk dan yang keluar. Nabi Saw pun bersabda “ Alangkah baiknya jika pintu ini dikhususkan untuk perempuan”. Akhirnya mereka mengkhususkan satu pintu untuk kaum perempuan, sehingga sampai sekarang dikenal dengan nama pintu perempuan (baab an-nisa’)[5].
  • Imam Muslim meriwayatkan dari Umu Athoyah, ia berkata “ Kita dahulu diperintahkan untuk keluar pada dua hari raya, juga perempuan yang dipingit dan yang masih gadis.[6]
  • Aktivitas perempuan juga sampai pada keikutsertaannya dalam peperangan dan jihad. Di antaranya adalah untuk memberikan pelayanan kepada para tentara mujahidin dan pertolongan pertama kepada yang terluka.[7]
  • Dari Ummi Athiyah, ia berkata, “Saya pernah berperang bgersama Rasulullah Saw, sebanyak tujuh peperangan. Saya berada di belakang mereka di perjalanan. Saya membuatkan makanan, mengobati orang-orang yang terluka dan merawat orang-orang yang sakit. (HR Muslim)[8]
  • Imam Ahmad meriwayatkan bahwa ada enam perempuan dari kalangan perempuan yang beriman dahulu ikut bersama tentara mengepung Khaibar. Mereka ikut memegang anak panah, memberi minum, dan mengobati orang yang terluka. Mereka juga bersenandung dengan syair-syair dan membantu memberi motivasi di jalan Allah. Nabi Saw, juga memberikan bagian ghanimah kepada mereka.[9]
  • Bahkan ada riwayat yang shahih yang menjelaskan bahwa sebagian istri sahabat ikut serta dalam peperangan islam dengan membawa senjata ketika mereka diberi kesempatan untuk itu. Sebagaimana yang dilakukan oleh Ummu Imarah Nasibah bintai Ka’ab pada perang Uhud, hingga Rasulullah Saw bersabda, “Sungguh posisinya lebih baik daripada Fulan dan Fulan”[10]

Dari beberapa riwayat yang dikumpulkan oleh Dr Yusuf Qardhawy tadi dapat kita lihat, bahwasannya pada generasi awal Rasulullah dalam momen tertentu terjadi dimana laku-laki dan perempuan beramal bersama-sama di medan amal yang sama. Mulai dari ibadah, menuntut ilmu, hingga peperangan. Dalam masa Rasulullah dahulu kegiatan berpolitik tidaklah seperti sekarang ini, seperti adanya pemilu, parlemen, dsb. Namun bila pemilu adalah suatu sarana untuk memberi pendapat atau kesaksian tentang kepantasan seseorang untuk menjadi pemimpin, maka sesungguhnya hal ini juga telah dilakukan oleh para shahabiyah. Sebaga contoh adalah bai’at aqobah pertama dan kedua dimana beberapa shahabiyah ikut serta pula di dalamnya.

Para ulama terdahulu berbeda pendapat masalah peranan wanita dalam jabatan peradilan dan politik. Namun beberapa ulama justru memperbolehkannya. Hal ini dijelaskan oleh Dr. Yusuf Al Qaradhawy :

“Abu Hanifah memperbolehkannya jabatan peradilan dan politik bagi kaum perempuan dalam kesaksian yang dibenarkan syariat, yakni tidak menangani kasus-kasus kriminalitas. Sedang Imam Thabari dan Ibnu Hazm memperbolehkan perempuan menempati jabatan itu untuk berbagai kasus baik masalah harta, krimintalitas, maupun yang lainnya.

Kebolehannya ini tidak berarti wajib atau harus namun dilihat aspek kemaslahatannya bagi perempuan itu sendiri dan kemaslahatan bagi keluarga, masyarakat, dan Islam. Boleh sebuah kondisi menuntut diangkatnya sebagian perempuan tertentu pada usia tertentu dan pada kondisi-kondisi tertentu pula.

Perempuan dilarang menjadi Presiden atau sejenisnya karena perempuan – galibnya- tidak tahan menghadapi konflik, yang biasanya akan menjadi risiko pada jabatan ini. Saya katakan “galibnya”, karena ada saja perempuan yang justru lebih mampu dari pada lak-laki seperti Ratu Saba’ yang telah diceritakan dalam Al-Quran. Tetapi hukum tidak bisa berdasarkan pada kekecualian yang langka, melainkan harus berdasarkan pada sesuatu yang lazun berlaku. Oleh karena itu, ulama mengatakan “Yang Jarang Terjadi itu tidak bisa menjadi landasan hukum (an-naadir la hukma lah).”[11]

Mengenai keterlibatan wanita dalam perlemen Dr.Yusuf Qaradhawy dalam Fatwa Kontemporer-nya mengaitkan fatwanya dengan fungsi pengawasan pemerintah dan pembuatan undang-undang. Bila dikaitkan dengan pengawasan, ia mengambil sebuah riwayat dimana seorang wanita dapat menatahkan gagasan Umar di dalam masjid, lalu Umar menarik pendapatnya dan menerima pendapat wanita itu seraya berkata “Wanita itu benar dan Umar Keliru”[12]. Dan beberapa contoh lain yang semisal. Beliau mengatakan :

“Selama masih menjadi hak wanita untuk memberi nasihat dan pandangan yang benar menurut pendapatnya serta menyuruh mengerjakan yang ma’ruf dan mencegah yang munkar sertamengatakan “ini benar dan ini salah “ –dalam kapasitasnya sebagai pribdi – maka tidak terdapat dalil syara’ yang melarangnya menjadi anggota parlemen untuk melaksanakan tugas-tugas ini.”[13]

Dalam permasalahan membuat undang-undang bagi dewan, Dr Yusuf Qardhawy justru mengatakan ijtihad dalam syariat islam itu senantiasa terbuka pintunya bagi laki-laki dan perempuan, maka dari itu perempuan pun bisa terlibat dalam hal ini. Beliau mengambil contoh Ummul Mu’minin Aisyah yang termasuk mujtahid dan mufti wanita dari kalangan sahabat, dimana beliau sering melakukan diskusi dan sanggahan terhadap sebagian sahabat sebagaimana yang direkam dalam kitab-kitab terkenal. Atau contoh lain yang beliau ambil adalah bagaimana kaum perempuan menginspirasi Umar untuk membuat ketentuan tentang tidak bolehnya suami yang menjadi tentara meninggalkan istri lebih dari enam bulan.[14]

Peran Perempuan Dalam Pembangunan

Berdasar data statistik penduduk jumlah perempuan di Indonesia sebanyak 50,3% dari total penduduk. Hal ini berarti di Indonesia jumlah perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Dengan jumlah perempuan yang demikian besar maka potensi perempuan perlu lebih diberdayakan sebagai subyek maupun obyek pembangunan bangsa. Peranan strategis perempuan dalam menyukseskan pembangunan bangsa dapat dilakukan melalui:

1. Peranan perempuan dalam keluarga

Perempuan merupakan benteng utama dalam keluarga. Peningkatan kualitas sumber daya manusia dimulai dari peran perempuan dalam memberikan pendidikan kepada anaknya sebagai generasi penerus bangsa.

2. Peranan perempuan dalam Pendidikan

Jumlah perempuan yang demikian besar merupakan aset dan problematika di bidang ketenaga kerjaan. Dengan mengelola potensi perempuan melalai bidang pendidikan dan pelatihan maka tenaga kerja perempuan akan semakin menempati posisi yang lebih terhormat untuk mampu mengangkat derajat bangsa.

3. Peranan perempuan dalam bidang ekonomi

Pertumbuhan ekonomi akan memacu pertumbuhan industri dan peningkatan pemenuhan kebutuhan dan kualitas hidup. Di sektor ini perempuan dapat membantu peningkatan ekonomi keluarga melalaui berbagai jalur baik kewirausahaan maupun sebagai tenaga kerja yang terdidik.

4. Peranan perempuan dalam pelestarian lingkungan

Kerusakan lingkungan yang semakin parah karena proses industrialisasi maupun pembalakan liar perlu proses reboisasi dan perawatan lingkunga secara intensif. Dalam hal ini perempuan memiliki potensi yang besar untuk berperan serta dalam penataan dan pelestarian lingkungan. (Lembaga Informasi Negara, 2001)

Rabu, 18 Agustus 2010

berjuang untuk kartini masa kini

“ JAS MERAH, Jangan Sekali-sekali Melupakan Sejarah”

Entah kenapa saya selalu suka dengan kata-kata Bung Karno diatas, kata itu selalu membakar rasa nasionalisme yang ada di jiwa saya. “ Jangan Pernah Lupakan Sejarah”, yah melupakan sejarah berarti melupakan jati diri kita sebagai suatu bangsa. Sejarah ibarat nama, kita perlu mengetahui kenapa kita diberi nama “A” agar kita bisa memenuhi harapan dari orang tua kita yang memberi nama kita. Pada tanggal 21 April ini, bangsa kita setiap tahunnya memperingati Hari Kartini, sebagai suatu bentuk penghargaan kepada Tokoh Wanita yang terkenal dengan kegigihanya memperjuangkan persamaan hak kaum wanita, lewat surat-suratnya yang dikirimkan yang kita kenal dengan “Habis Gelap Terbitlah Terang”, Kartini mulai mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa. Pemikiran-pemikiran Kartini yang tertuang dalam surat-suratnya juga menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh kebangkitan nasional Indonesia.

Siapa Kartini? Kartini atau yang bernama lengkap Raden Ajeng Kartini dilahirkan di jepara pada tanggal 21 April 1879, Raden Adjeng Kartini adalah seorang putrid yang lahir dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Sosroningrat, bupati Jepara. Beliau putri R.M. Sosroningrat dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Ayahnya, R.M.A.A Sosroningrat, pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Teluwakur, Jepara. Peraturan Kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Ajeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo. Kartini melalui pemikiran yang tertuang dalam surat-suratnya telah mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa. Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar.

Saat ini telah banyak wanita yang berpendidikan dan memainkan peranan penting dalam berbagai bidang kehidupan seperti yang diharapkan oleh Kartini. Di Indonesia pun telah ada Kementerian Urusan dan Peranan Wanita, tetapi dikalangan masyarakat pesisir (nelayan), masih banyak wanita yang belum terdidik dan terbedayakan. Wanita nelayan adalah suatu istilah untuk wanita yang hidup di lingkungan keluarga nelayan, baik sebagai istri maupun anak dari nelayan pria. Kaum wanita di keluarga nelayan umumnya terlibat dalam aktivitas mencari nafkah untuk keluarganya. Selama ini wanita nelayan bekerja menjadi pengumpul kerang-kerangan, pengolah hasil ikan, pembersih perahu yang baru mendarat, pengumpul nener, membuat/memperbaiki jaring, pedagang ikan dan membuka warung. Namun peran wanita di lingkungan nelayan ini belum dianggap berarti, sebagai penghasil pendapatan keluarga pun dianggap income tambahan.

Pemberdayaan wanita pesisir merupakan salah satu solusi untuk meningkatkan kesejahtraan masyarakat pesisir di Indonesia. Salah satu cara pemberdayaan wanita ini melalui jalur pendidikan. Pendidikan di sini dapat berupa pendidikan formal melalui jalur sekolah untuk generasi muda nelayannya, selain itu melalui pendidikan non formal berupa penyuluhan atau pelatihan, juga melalui pendidikan informal berupa ceramah-ceramah di kalangan pengajian atau arisan, juga melalui percakapan-percakapan informal lainnya yang berupa informasi-informasi. Dengan adanya progam-progam pendidikan di kalangan wanita nelayan, diharapkan muncul sosok Kartini-Kartini yang akan membangun dan memajukan kehidupan masyarakat pesisir. Dan diharapkan wanita-wanita Indonesia yang terdidik di perkotaan mau terjun ke daerah pesisir untuk membangun sector kelautan di Indonesia.

peran perempuan

Realitas sosial menunjukkan perempuan berkiprah di area publik bukan sesuatu yang aneh. Hal ini teutama dipicu oleh faktor kebutuhan secara ekonomi. Meski faktanya demikian, namun realitas perempuan sebagai pemimpin masih menjadi perdebatan tak kunjung usai. Perdebatan ini kentara sekali di ranah teologi. Agama, dalam hal ini Islam, terlihat gamang dalam menyikapi fenomena ini. Islam seolah terbelah dikotomis antara pro ataukah inti perubahan; mengamini perempuan pemimpin ataukah tetap memegang teguh laki-laki sebagai pemimpin perempuan.

Perempuan dalam politik seringkali dipersoalkan oleh sabagian orang di Indonesia. Sebagian kaum Muslim mempersoalkan perempuan dalam poltik dengan alasan takdir perempuan bukanlah dalam politik, tetapi di level domestik (rumah tangga), sementara level publik (politik) merupakan dunia laki-laki. Namun, paham ini mendapat kritik yang cukup keras dari kelompok yang menyatakan bahwa level publik maupun domestik bukanlah “takdir”. Keduanya dapat dinegoisasikan, serta didialogkan karena tidak ada satu pun doktrin yang menunjukkan bila “laki-lski” takdirnya adalah di wilayah politik, sementara perempuan dalam domestik.

Perdebatan dua kelompok diatas ternyata terus berlangsung hingga sekarang. Bahkan, yang paling nyata adalah perdebatan tersebut membawa dampak yang kadang kurang produktif di masyarakat. Ada kalanya terjadi klaim dan saling menghakimi bahwa yang paling benar adalah kelompok A, sedangkan lainnya salah. Demikian seterusnya. Tentu hal ini tidak membuat persoalan perempuan dalam politik atau laki-laki dalam politik selesai dibahas karena rebut mengurus klaim atas pemahaman yang dikembangkan.

Oleh sebab itu, sudah seharusnya perempuan dilihat sebagai pendorong kemajuan bangsa atau kemajuan bangsa. Hal ini didasarkan pada sebuah pemahaman bahwa jika perempuan-perempuan yang selama ini ditempatkan “secara agak paksa” hanya sebagai pengurus anak, pengatur keuangan keluarga, pengatur jadwal suami dan pemberi semangat anak-anak dan suami tidak bekerja maksimal, maka bangsa ini tidak akan maju.

Memperhatikan pelbagai kasus atau peristiwa yang terjadi di tanah air, maka tidak benar bila kita hendak memposisikan perempuan sebagai manusia kelas dua. Hal yang harus dikerjakan adalah bagaimana memposisikan perempuan secara adil dan setara dalam politik (publik) karena dalam kenyataan banyak laki-laki tidak lebih baik dari perempuan, tetapi perempuan sebagian besar dipandang sebagai pihak yang tidak pada “takdirnya” ketika masuk dalam ranah publik-politik. Tentu pandangan ini tidak adil pada perempuan, karenanya harus disingkirkan.

Gerakan perempuan perlu mempertahankan keterbukaan pikiran, siap mendengarkan, berdialog serta bernegoisasi dengan pelbagai kelompok yang ada di masyarakat. Dengan begitu maka akan tercipta ruang keadilan. Keadilan adalah kata kunci perjuangan perempuan untuk berkata no discrimination. Islam sendiri sebetulnya tidak cukup dijadikan alasan untuk mendiskreditkan perempuan dalam berbagai peran sosial atas dasar agama. Yang ada dalam ajaran Islam adalah distinction (perbedaan) bukan discrimination (pembedaan) antara laki-laki dan perempuan. Oleh karenanya, tidak ada keraguan untuk membawa isu kesetaraan mengemuka di muka public. Ke depan diharapkan seluruh elemen bangsa makin banyak yang bergerak menyuarakan aspirasi perempuan secara bersama-sama. Sehingga upaya mewujudkan emansipasi perempuan agar terbebas dari diskriminasi makin terbuka lebar.

Gerakan bersama ini sudah menjadi keniscayaan untuk kemerdekaan perempuan dari segala bentuk penindasan demi perbaikan bangsa di masa mendatang.