Peran perempuan kerap menjadi sebuah perdebatan. Banyak kalangan menilai perempuan mesti mendapatkan peran lebih besar dalam kehidupan masyarakat. Di sisi lain, ada kalangan yang memandang perempuan mestinya hanya berperan dalam ranah domestik atau kehidupan rumah tangga saja.
Lalu bagaimana sebenarnya Islam memandang peran perempuan tersebut dan bagaimana kenyataan peran perempuan dalam berbagai bidang di negara-negara Islam? Menurut cendekiwan Muslim asal Arab Saudi, Elly Maliki, perempuan mestinya memiliki peran yang lebih besar dalam kehidupan masyarakat.
Maliki yakin perempuan juga memiliki potensi yang akan berguna pembangunan masyarakatnya. ‘’Mestinya tak ada diskriminasi terhadap perempuan. Bahkan di dalam Alquran juga dinyatakan bahwa tak ada pembedaan antara perempuan dan laki-laki. Penilaian yang berbeda didasarkan pada tingkat keimanannya,’’ tegasnya di sela-sela acara Seminar Internasional Cendekiawan Muslim ke-2 di Jakarta, belum lama ini.
Dengan demikian, jelas Maliki, perempuan akan mampu berkiprah dalam masyarakat di berbagai bidang baik ekonomi, pendidikan, teknologi, bahkan politik. Meski ia pun menyatakan bahwa perempuan juga memiliki kewajiban menyeimbangkan antara kegiatannya di luar dengan kewajiban bagi keluarganya.
Maliki menambahkan, diakuinya dan perlunya peran perempuan dalam skala yang lebih besar membuatnya bebas tanpa batas aturan. Perempuan harus tetap menjalankan perannya di masyarakat sesuai dengan aturan agama sebagai pengawalnya. Jadi apa yang
dilakukan mereka tetap dalam koridor yang sesuai dengan ajaran agama.
Dalam kesempatan sama, dekan Islamic Studies, University of Philippines, Dr Carmen A Abubakar, menguraikan bagaimana perempuan di kalangan umat Islam Moro di Mindanao, Filipina. Kondisi ekonomi yang sulit akibat konflik yang terjadi di sana, mendorong perempuan Moro untuk memainkan peran penting.
Carmen mengatakan, konflik telah membuka pemikiran mereka untuk mampu menghidupi dirinya sendiri dan keluarganya. Selama ini mereka memang bergantung pada kepala keluarga. Namun konflik telah membalikkan keadaan tersebut, mereka kemudian aktif di pasar untuk menggerakkan roda perekonomian; membekali dirinya dengan ketrampilan, di antaranya keperawatan dan medis.
Meski demikian, dalam kondisi yang serba sulit itu tak semua perempuan Moro, kata Carmen, mampu mencapai pendidikan ketrampilan tersebut karena biayanya yang sangat mahal. Namun mereka tak berpangku tangan. Efek konflik yang mempersempit lapangan pekerjaan di daerah kelahiran mereka, membuatnya rela pergi ke luar negeri, terutama ke Timur Tengah untuk mendapatkan pekerjaan. Tak ayal bila akhirnya lebih banyak perempuan Moro yang bekerja di luar negeri dibandingkan laki-lakinya.
Carmen menjelaskan, fenomena ini menunjukkan bahwa kemampuan perempuan-perempuan Moro untuk menabung membuat mereka memiliki akses ekonomi dan memainkan peran baru pula dalam keluarganya.
Kesuksesan tersebut, jelas Carmen, membuat mereka kemudian mampu mengembangkan usaha meski dalam skala yang masih relatif kecil. Mereka juga mampu membantu suaminya untuk menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang lebih tinggi. Pun akhirnya mampu menciptakan sebuah modal bagi kemajuan ekonomi keluarga.
Selain itu, lanjut Carmen, peremuan Moro juga memainkan peran yang besar dalam masa konflik yang terjadi di Mindanao. Mereka tak digerakkan untuk terlibat dalam perang tapi ada upaya nyata lainnya yaitu upaya mereka dalam mengurangi tingkat buta huruf yang ada di masyarakat di mana mereka tinggal.
Menurut Carmen, langkah ini ditempuh untuk menepis dampak negatif dari tingkat melek huruf yang rendah itu. Pasalnya, rendahnya tingkat melek huruf berpengaruh besar bagi perempuan Moro untuk mendapatkan kesempatan kerja. “Jadi menghambat mereka untuk berperan dalam sektor ekonomi”.
Carmen menuturkan, perempuan juga memainkan peran dalam sejumlah lembaga swadaya masyarakat. Ia mencontohkan sebuah LSM bernama Al-Mujadilah Development Foundation yang dipimpin oleh Yasmin Busran-Lao. Selama ini LSM ini terus bergerak untuk mewujudkan perdamaian di masyarakat.
Melalui Al-Mujadilah, jelas Carmen, Yasmin telah menggalang dialog antara komunitas Muslim dan Kristen. Ini bertujuan agar kedua belah pihak saling memahami dan terhindar dari konflik. Yasmin juga mendorong peran perempuan dalam upaya menciptakan perdamaian.
Musdah Mulia, cendekiawan Muslim, dalam bukunya bertajuk “Perempuan Reformis”, mengatakan bahwa tauhid tak memberikan luang untuk membedakan antara laki-laki dan
perempuan. Di hadapan Allah baik laki-laki maupun perempuan memiliki potensi untuk menjadi hamba yang ideal.
Menurut Musdah, dalam praktiknya, perempuan memiliki peranan penting dalam kehidupan bermasyarakat. Ini juga terjadi ketika perempuan memerankan dirinya dalam
upaya rekonsiliasi. Ia mencontohkan bagaimana perempuan pemuka agama di Ambon memainkan peran penting ini.
Mereka, jelas Musdah, hanya melakukan pekerjaan sederhana yaitu agar tidak muncul konflik baru. Mereka tak berbicara tentang rekonsiliasi, tetapi membuat langkah pencegahan. ‘’Meski yang mereka lakukan amat sederhana justru langkah mereka merupakan bentuk nyata rekonsiliasi dan perdamaian,’’ katanya.
Mereka melakukan kegiatan silaturahim setelah terjadinya konflik bernuansa agama. Ini dilakukan dengan acara pengajian maupun kebaktian di wilayah masing-masing, yaitu komunitas Islam dan Kristen. Kegiatan ini merupakan rehabilitasi mental dan psikoterapi terhadap kelompok ibu-ibu. (cmm)